Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Wednesday, April 05, 2006

REBAB CINTA- requiem for mother

Hujan masih jatuh rintik-rintik malam itu. Suara memilukan hati keluar dari gesekan rebab pak Sukar di samping peti jenasah ibu. Kedatangan pak Sukar untuk memperdengarkan suara rebabnya memang atas undangan kami anak-anak ibu.
Pak Sukar memang bukan sosok yang asing bagi kami, beliau memang sudah menjadi tetangga kami sejak kami kecil. Kami jarang sekali bertemu bertahun-tahun, sejak kami meninggalkan Jogja. Dulu Pak Sukar adalah sosok seorang kekar, pandai menari, pemain wayang yang gagah dan sering kami ‘nontoni’ beliau melakukan pekerjaannya menyepuh kuningan. Pekerjaannya sebagai penyepuh kuningan ini yang kemudian membedakan sosok Pak Sukar yang dulu dengan saat ini. Konon dari resiko pekerjaannya itulah Pak Sukar yang dulu berjalan gagah menjadi seorang yang berjalan tertatih-tatih karena kebutaan matanya.
Beberapa tahun terakhir ketika pulang ke rumah ibu, kami melihat Pak Sukar tidak melakukan apa-apa lagi selain memperdengarkan suara-suara dawai rebabnya.

Suara rebab pak Sukar telah mewarnai keindahan kenangan kami bersama ibu selama ini. Dalam kesendiriannya ibu banyak melepas kesepiannya dan larut dalam keindahan suara rebab Pak Sukar.
Siang itu, kami mendatangi pak Sukar untuk memberitakan kepergian ibu. Matanya yang buta tampak berkaca-kaca lalu memeluk kami satu persatu. Tangannya mencengkeram badan kami dengan erat seakan mengatakan pada kami untuk tetap tabah. Kemudian, secara spesial kami undang Pak Sukar untuk memperdengarkan suara rebabnya yang terakhir di hadapan jenasah ibu. Ekspresi pak Sukar saat itu sungguh tak terlupakan. “ Duh, semedot atiku…” kata-kata yang keluar dari hati pak Sukar sambil menepuk-nepuk dadanya. Pak Sukar tidak menyangka ibu selama ini menikmati permainan rebabnya. Menurut beliau ibu memang pernah mengatakan anak-anak (kami) menyenangi permainan rebab pak Sukar dan berpesan agar pak Sukar memainkan rebabnya kalau kami datang ke rumah ibu. “Semedot atiku…” kata-kata itu diulangnya berkali-kali.

Aku masih berdiri larut dalam gesekan dawai rebab pak Sukar. Orang-orang yang hadir untuk mengikuti misa arwah ibu tampak hening, Beberapa tampak terisak-isak menangis. Kami memang menunda beberapa saat misa arwah ibu malam itu untuk memberi kesempatan pak Sukar memainkan rebabnya terakhir kali untuk ibu. Seperti yang telah kami katakan pada khalayak yang hadir disitu bahwa pak Sukar merupakan penyampai pesan Tuhan yang nyata dalam kehidupan kami dan ibu, terbukti dengan suara rebab yang mampu menghadirkan gambaran keindahan kemuliaan Tuhan yang begitu agung pada malam itu.

Suara rebab terhenti, pak Sukar menghentikan gesekannya, menangis, tak kuasa menahan luapan emosinya. Malam itu semua yang hadir mendengar suara hati pak Sukar dalam tangisannya, “ Ora kuat aku… semedot atiku…”

4 Comments:

Blogger sujud ilalang said...

manis sekali tulisan ini...

2:15 AM  
Blogger jb said...

ups... dikomen pakar??

thx. salam kenal...

12:40 AM  
Blogger Dey said...

wah...fotonya keren, tulisanya juga baguss aja ..

hayoo yang rajin nulisnya dong biar aku bisa sering sering baca..

take care

1:55 AM  
Blogger godote said...

mimok..

8:54 PM  

Post a Comment

<< Home